TUNTUTAN STAKEHOLDERS PENDIDIKAN TERHADAP PEMBARUAN DIMENSI SOSIOLOGIS PERSEKOLAHAN

TUNTUTAN STAKEHOLDERS PENDIDIKAN TERHADAP PEMBARUAN DIMENSI SOSIOLOGIS PERSEKOLAHAN


      A.    Akselerasi Stakeholders Pendidikan di Persekolahan

            Stakeholders Pendidikan merupakan kelompok kepentingan yang akan menentukan berbagai kebijakan sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak saja dianggap sebagai lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan peserta didik sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan intervensi terhadap kebijakan persekolahan. Intervensi yang dimaksud disini adalah adanya peluang yang besar bagi kelompok kepentingan atau stakebolders dalam menentukan arah kebijakan dan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh persekolahan.
            Jika mengacu kepada konsep total quality management (TQM), jelas sekali disebutkan bahwa persekolahan harus memperhatikan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pelanggan atau pengguna jasa pendidikan. Persekolahan diharuskan menepatkan bebagai kelompok kepentingan tersebut sebagai pelanggan pendidikan, atau yang lebih popular saat ini disebut dengan stekebolders pendidikan. Posisi stakebolderspendidikan tentu saja harus memperhatikan apa yang dibutuhkan serta yang diinginkannya, karena itu, persekolah setiap saat diwajibkan mampu menjadi jembatan antara kepentinganstakebolders dengan kepentingan persekolahan tersebut.                Posisi stakebolders pendidikan tentu saja harus memperhatikan apa yang dibutuhkan serta yang diinginkannya, karena itu persekolahan setiap saat diwajibkan mampu menjadi jembatan antara kepentingan stakebolders dengan kepentingan persekolahan tersebut. Tuntunan pengguna jasa pendidikan yang begitu besar terhadap persekolahan setiap saat melakukan pembeharuan. Apalagi saat ini era globalisasi mengharuskan lulusan persekolahan dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan yang berdimensi local, regional, dan global. Lulusan lembaga persekolahan yang  tidak dapat menyesuaikan dengan era globalisasi, mengakibatkan persekolahan dianggap tidak mampu menempatkan lulusannya dalam pergaulan global. Tuntunan yang adakalanya tidak diperhatikan persekolahan inilah yang mengakibatkan persekolahan diharuskan inovatif dalam menyahuti tuntunan globalisasi tersebut.
            Menurut Tilaar (1999:358), kondisi yang mencetuskan konsep-konsep inovasi yang dituntut dalam era globalisasi adalah [1]:
1.      Di dalam era globalisasi kita berada dalam suatu masyarakat yang kompetitif. Artinya pribadi dan masyarakat berada di dalam kondisi untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik dan berkualitas.
2.      Masyarakat didalam era globalisasi menuntut kualitas yang tinggi baik di dalam jasa, barang, maupun investasi modal. Kualitas berada diatas kuantitas.
3.      Era globalisasi merupakan suatu era informasi dengan sarana-sarananya yang dikenal sebagai information superhighway. Oleh sebab itu pemanfaataninformation superhighway merupakan suatu kebutuhan masyarakat modrn dan dengan demikian perlu dikuasai anggota masyarakat.
4.      Era globalisasi merupakan era komunikasi yang sangat cepat dan canggih. Oleh sebab itu penguasaan terhadap sarana-sarana komunikasi seperti bahasa, merupakan syarat muthlak.
5.      Era globalisasi ditandai oleh maraknya kehidupan bisnis, oleh sebab itu kemampuan bisnis, manajer, merupakan tuntutan masyarakat masa depan.
6.      Era globalisasi merupakan era teknelogi dan oleh sebab itu anggota-anggota masyarakatnya haruslah merek digital.
Konsep-kensep inovatif tersebut mau tidak mau mempengaruhi penyelenggaraan persekolahan pada saat ini. Karena itu, stakebolders pendidikan diberi peluang dan kesempatan yang luas dalam menentukan kebijakan persekolahan secara teruktur dan proporsional. Berikut ini akan diuraikan secara singkat pembaruan pendidikan yang berdimensi inovatif sebagai implikasi dari akselarasi dan tuntutan stakeholders pendidikan terhadap persekolahan[2] yaitu :
o   Manajemen berbasis sekolah (MBS)
o   Life skill
o   Contextual teaching and learning, (CTL).
B.  Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah.
            Untuk menyahuti perkembangan social, politik, ekonomi dan budaya global yang telah mempengaruhi hidup dan kehidupan saat ini dan masa depan, pendidikan diharuskan bersikap responsif dan pro aktif terhadap tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan persekolahan. Tuntutan tersebut adalah agar dunia pendidikan persekolahan dapat memberikan layanan prima terhadap pelanggan atau pengguna jasa pendidikan tersebut.
            Salah satu upaya untuk menjaring keterlibatan masyarakat dalam persekolahan adalah apa yang saat ini disebut dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang merupakan terjemah dari Scholl Based Management. Dalam operasionalnya, manajemen berbasis sekolah biasa disebut dengan manajemen pendidikan berbasis sekolah (MPBS). MPBS merupakan alternative baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
            Dalam buku manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-7) diungkapkan beberapa indicator yang menjadi karakteistik dari konsep MPBS sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing0masing pihak antara lain sebagai berikut :
1)      Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
2)      Sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai
3)      Sekolah memilki kepemimpinan yang kuat
4)      Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah
5)      Adanya pengembangan staf sekolah yang terus meneru sesuai tuntutan IPTEK.
6)      Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu
7)      Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua dan masyarakat lainnya.
Ciri-ciri yang dapat dengan mudah dikenali untuk mengetahui untuk mengetahui apakah sekolah telah berhasil menggunakan pendekatan MPBS adalah dengan melihat sejauhmana sekolah dapat mengotimalkan kinerja organisasi sekolah, kegiatan proses pembelajaran (PBM), pengolaan SDM, dan pengolaan sumber daya administrasi lainnya[3]Namun perlu disadari bahwa MPBS tidak mungkin dapat mendongkrak kualitas pendidikan apabila tidak didukung faktor lainnya. Keberhasilan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sejumlah faktor lainnya, yaitu:
a.       Tingkat kemampuan ekonomi masyrakat
b.      Sosial budaya dan politik
c.       Taraf pendidikan masyarakat
d.      Kebijakan pemerintah
e.       Organisasi dan kepemimpinan kepala sekolah
f.       Strategi pembelajaran di kelas
g.      Tata laksana sekolah serta profesionalisme guru
h.      Tenaga kependidikan lainnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa minimal ada 6 persyaratan yang perlu dipenuhi dalam menerapkan MPBS tersebut, yaitu :
o   Pemilihan kepala sekolah dan guru profesional
o   Bentuk partisipasi orangtua
o   Motivasi dan kemauan orang tua
o   Kemampuan alokasi dana/keuangan
o   Kualitas pembelajaran dan hasil lulusan
o   Dan keterlibatan semua stakebolders pendidikan


Sebagai tolak ukur dari keberhasilan implementasi MPBS, telah ditetapkan 16 indikator keberhasilannya meliputi :
1)      Efektivitas proses pembelajaran
2)      Kepemimpinan sekolah yang kuat
3)      Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif
4)      Sekolah memilki budaya mutu
5)      Sekolah memilki “team work” yang kompak, cerdas, dan dinamis
6)      Sekolah memilki kemandirian
7)      Partisipasi warga sekolah dan masyarakat tinggi
8)      Sekolah memilki transparansi
9)      Sekolah memiliki kemauan untuk berubah, baik fsikologis maupun fisik
10)  Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
11)  Sekolah responsive dan antisipasif terhadap kebutuhan
12)  Sekolah memilki akuntabilitas
13)  Sekolah memilki sustainabilitas
14)  Output adalah prestasi sekolah
15)  Penekanan angka drop-out, da
16)  Kepuasan staf sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Selama ini memang terkesan bahwa antara sekolah dengan masyarakat seolah-olah terpisahkan oleh jurang yang dalam sehingga hubungan keduanya tidak harmonis bahkan sering muncul sikap ketidakpedulian.
Tujuan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah

Tujuan utama MPBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain, diperoleh melalui keleluasan mengelola sumberdaya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Melalaui partisipasi orang tua terhadap sekolah fleksibilitas pengeolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepla sekolah, berlakunya system insentif dan disentif. Peningkataan pemerataan antara lain diproleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsetrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikkan yang tinggi terhadap sekolah.
Manajemen berbasis sekolah juga bertujuan untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluesan dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum, guru didorong untuk berinovasi, dengan mlakukan eksperimentasi-eksperimentasi dilingkungan sekolah[4]
Hal yang paling penting dalam implementasi manajemen berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Dr.E. Mulayasa, M. pd mengungkapkan sekurang-kurangnya ada tujuh komponen yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS.
1.      Kurikulum dan Program Pembelajaran
Manajemen kurikulum dan program pembelajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umunya telah dilakukan oleh departemen pada tingkat pusat. Karena itu level sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran.
2.      Tenaga Kependidikan
Manajemen kependidikan mencakup:
·         Perencanaan pegawai
·         Pengadaan pegawai
·         Pembinaan dan pengembangan pegawai
·         Promosi dan mutasi
·         Pemberhentian pegawai
·         Kompensasi
3.      Kesiswaan
Manajemen kesiswaan merupakan salah satu bidang oprasional MBS, yaitu peranan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai keluarnya peserta didik dari suatu sekolah. Manajemen kesiswaan bukan hanya berbentuk pencatatan data peserta didik, melainkan meliputi aspek yang lebih luas yang secara operasional dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan di sekolah[5]
4.      Pembiayaan
Dalam rangka implementasi MBS, manajemen keuangan harus dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai dari tahap penyusunan anggaran, penggunaan, sampai pengawasan dan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar dana sekolah benar-benar dapat dimanfaatkan secara efektif, efisien, dan tidak ada kebocoran-kebocoran, serta bebas dari penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme.
5.      Sarana dan Prasarana Pendidikan
Manajemen sarana dan prasarana bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan konstribusi secara optimal pada jalannya proses pendidikan.
6.      Pengelolaan Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Sekolah dan masyarakat memilki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif  dan efisien.
7.      Manajemen Pelayanan Khusus Lembaga Pendidikan
Manajemen khusus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah.



B.     Life Skill (Kecakapan Hidup)
            Istilah Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (1989) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”. Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002).[6]
Secara umum pendidikan yang beroriantasi pada kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fithrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa mendatang. Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 4 jenis[7] :
1.      Kecakapan Personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awereness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill).
2.      Kecakapan social (social skill)
3.      Kecakapan akademik (akademik skill)
4.      Kecakapan vokasional (vokasional skill)

Kecakapan mengenal diri itu pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga Negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi dirisendiri dan lingkungannya.
Kecakapan berpikir rasional mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching) , kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan, serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
Kecakapn social atau kecakapan antar-personal (inter-personal skill) mencakup antara lain kecakapan komunikasi dengan empati, dan kecakapan bekerjasama(collaboration skill). Dua kecakapan hidup yang diuraikan di atas biasanya disebut sebagai kecakapan hidup yang bersifat umum atau kecakapan hidup generic (general life skill/GLS). Kecakapan hidup tersebut diperlukan oleh siapapun, baik mereka yang bekerja, mereka yang tidak bekerja dan mereka yang sedang menempuh pendidikan.
Kecakapan hidup yang bersifat spesifik diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu. Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” tentu diperlukan kecakapan khusus tentang mesin mobil, begitu juga dengan yang lainnya.
Kecakapan hidup yang bersifat khusus biasanya disebut juga sebagai kompetensi teknis yang terkait dengan materi mata-pelajaran atau mata-diklat tertentu dan pendekatan pembelajaranya.
Kecakapan akademik (academic skill) yang seringkali juga disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir rasional pada GLS.
            Kecakapan vakasional seringkali disebut pula dengan ” kecakapan kejuruan”, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.
            Aspek-aspek social dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat menjadi kajian yang relavan terhadap berbagai persoalan yang me-merlukan solusi akurat. Hal ini tentu saja menjadi salah satu kajian yang harus dilakukan secara intensif agar lembaga persekolahan tidak mengecewakan pengguna jasanya. Karena itu, life skill atau kecakapan hidup merupakan bagian terpenting dan harus ditanamkan dalam proses pembelajaran sehingga potensi ideografik dan nomotetil peserta didik berkembang secara propesional.
           



D. Contextual Teaching dan Learning (CTL)
Wilson (2002:4) mengatakan Contextual Teaching and Learning adalah konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan peserta didik diperoleh dari usaha peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar.
Kunandar(2010:295) dalam The wagshinton state konsoritium for contextual teaching and learnig, mengartikan Contextual Teaching and Learning adalah pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas dan menerapkan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untukmemecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual menjadi ketika peserta didik menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil yang berasosiasi dengan peranan dengan tanggung jawab mereka sebagi anggota keluarga, masyarakat, peserta didik dan selaku pekerja.
Untuk meningkatkan kemampuan anak didik terhadap fenomena lingkungannya, dibutuhkan sebuah strategi pengajaran yang dapat memaksimalkan pemahaman anak dengan lingkungannya tersebut. Karena itu, pembelajaran yang bersifat alamiah merupakan strategi penting agar anak didik lebih “mengalami” dari pada “mengetahui”.
Pendekatan CTL menurut Directoret Jenderal Pendidikan Lanjutan Pertama Depdikna (2002:1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan contextual teaching dan learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan anata pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.



Diantara kelebihannya adalah sebagai berikut :

1.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.

2.      Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.

Diantara kekurangannya adalah sebagai berikut :

1.      Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.

2.      Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.



[1] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.86
[1] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.88
[1] [1] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.91
[1] Abdul Rachman shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 227
[1] Ibid., hlm. 231
[1] ttp://pkbmpls.wordpress.com/2008/02/06/pengertian-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills/
[1] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.96

[1] http://salbima.blogspot.com/2012/03/contextual-teaching-and-learning-ctl.html



[1] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.86
[2] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.88
[3] [3] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.91
[4] Abdul Rachman shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 227
[5] Ibid., hlm. 231
[6] ttp://pkbmpls.wordpress.com/2008/02/06/pengertian-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills/
[7] Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press, 2004) Hal.96

[8] http://salbima.blogspot.com/2012/03/contextual-teaching-and-learning-ctl.html
Share this video :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Guruku Miisjtg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger